Jakarta, CNBC Indonesia – Kualitas kain dan pakaian PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) sudah diakui dunia internasional. Perusahaan tekstil terbesar se-Asia Tenggara yang berada di Sukoharjo, Jawa Tengah ini memproduksi berbagai produk global.
Misalnya di sektor pakaian jadi (garmen), beberapa produk fashion terkenal seperti Zara, Guess, dan Timberland juga pernah dibuat di pabrik Sritex. Mereka juga terus melakukan inovasi model dengan mengembangkan beragam jenis.
Bukan hanya sekadar fashion, Sritex dulu dikenal jagonya produsen seragam militer. Bahkan seragam militer Sritex telah diakui memenuhi standar North Atlantic Treaty Organization (NATO) sehingga dipercaya memproduksi seragam militer anggota NATO. Beberapa produk terkait keperluan militer antara lain seragam tempur, jaket, cover all, rompi, tenda, sepatu dan lain-lain.
Sritex telah dipercaya untuk memasok seragam militer dari 30 negara di dunia seperti Amerika, Rusia, Jerman, Inggris, Australia, Swedia, Belanda, Indonesia, Norwegia, Kwait, Saudi Arabia, dan lain-lain.
Sementara itu untuk TNI, Sritex juga memproduksi seragam dengan kemampuan luar biasa, antara lain anti air, anti api, bahkan anti nyamuk.
Selain seragam, ternyata ada perlengkapan militer lain yang diproduksi Sritex, yaitu ransel serbu yang bisa dugunakan untuk pelampung jika penggunanya terjatuh di laut, sungai, ataupun danau. Sritex juga membuat tenda untuk TNI yang pastinya anti air dan terjamin kualitasnya.
Bahkan perusahaan yang didirikan oleh (Alm) HM Lukminto itu turut andil dalam pembuatan kendaraan militer yaitu Hovercraft milik TNI. Dalam pembuatan kendaraan yang bisa dijalankan di darat dan laut itu, Sritex kebagian membuat komponen anti api dan anti pelurunya.
Sritex memang pernah berjaya di masanya. Namun kini perlahan sinar Sritex meredup.
Perusahaan ini mengalami hutang yang menumpuk, perdagangan saham yang dihentikan, hingga terancam delisting.
Perdagangan saham SRIL telah dihentikan sejak 18 Mei 2021 dan akan pada Maret 2024 telah memasuki bulan ke-34. Sementara laporan keuangan terakhir yang dilaporkan yakni September 2022 menurut situs resmi perusahaan.
Hingga September 2023, total liabilitas SRIL tercatat US$1,55 miliar atau setara dengan Rp24,16 triliun (kurs=Rp15.600/US$). Jumlah tersebut didominasi oleh utang-utang yang memiliki bunga seperti utang bank dan obligasi.
Secara rinci utang bank dan obligasi yang dimiliki oleh Sritex adalah sebagai berikut:
Foto: Pabrik Sritex (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)
Pabrik Sritex (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)
|
- Utang bank jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun senilai US$13,06 juta atau Rp203,67 miliar,
- Utang jangka dengan jatuh tempo kurang setahun senilai US$5 juta atau Rp78 miliar,
- Utang bank dan obligasi jangka panjang senilai US$1,33 miliar atau Rp20,57 triliun.
- Total utang bank dan obligasi adalah US$992 juta atau Rp15,49 triliun.
- Surat utang jangka menengah US$14,58 juta atau Rp227,5 miliar.
- Total obligasi senilai US$368,25 miliar atau Rp5,744 triliun.
Jumlah tersebut sama dengan 86,88% dari total liabilitas yang dimiliki per September 2023. Di aman utang didominasi dengan masa jatuh tempo jangka panjang. Utang jangka panjang adalah utang mahal sebab harus bayar jangka waktu yang lebih lama.
Perlu dicatat utang bank dan obligasi mengakibatkan ada bunga yang harus di bayar selain pokok pinjaman. Implikasinya adalah beban bunga akan menggerus pendapatan sehingga membuat kinerja profitabilitas menjadi buruk.
Utang yang gendut membuat Sritex mengalami “obesitas”. Jumlah utang bank dan obligasi yang dimiliki lebih tinggi dari aset yang dimiliki sehingga mengalami defisit modal.
Defisit modal biasa juga disebut sebagai ekuitas negatif. Emiten yang memiliki ekuitas negatif akan berbahaya bagi investor karena sebagai tanda bahwa perusahaan semakin dekat dengan kebangkrutan.
Jumlah aset yang dimiliki adalah US$653 juta atau Rp10,19 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang berbunga maka terdapat defisit modal sebesar Rp10,8 triliun.
Jika total aset tersebut dibandingkan dengan jumlah liabilitas maka terjadi defisit modal sebesar Rp13,97 triliun.
Selain ekuitas negatif terdapat indikator lainnya yang semakin menegaskan kondisi Sritex tidak sehat, yakni rasio likuiditas dan rasio solvensi.
SRIL memiliki current ratio sebesar 175%, padahal maksimal adalah 100%. Current ratio digunakan untuk mengetahui seberapa sanggup sebuah perusahaan bisa memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Padahal utang jangka pendek adalah yang paling berisiko dibandingkan dengan utang jangka panjang dalam struktur modal. Sebab harus segera dilunasi, jika tidak mampu dibayar maka perusahaan akan dihadapkan dengan pilihan yang sulit yakni melikuidasi aset (jika cukup) atau melakukan refinancing atau pailit.
Dijelaskan dalam buku Dasar-dasar Memahami Rasio dan Laporan Keuangan oleh Darmawan, current ratio adalah perbandingan antara aktiva lancar dan kewajiban lancar
Kemudian tingkat utang berbunga seperti bank dan obligasi dibandingkan aset (debt assets ratio) yang sebesar 207,9%, di atas batas aman 100%.
Bagaimana dengan debt equity ratio (DER) yang juga umum digunakan untuk mengukur kesehatan perusahaan? Tentu saja tidak bisa dihitung dan digunakan sebab membukukan ekuitas negatif.
Perdagangan saham SRIL telah dihentikan sejak 18 Mei 2021 dan akan pada Maret 2024 telah memasuki bulan ke-34. Sementara laporan keuangan terakhir yang dilaporkan yakni September 2022 menurut situs resmi perusahaan.
BEI menyebut, bursa dapat menghapus pencatatan saham perusahaan tercatat apabila mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha, baik secara finansial atau secara hukum.
Juga, terhadap kelangsungan status sebagai perusahaan terbuka, dan tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Miris nasib Sritex sekarang, dahulu disanjung karena bahan dan kualitas pakaiannya. Bahkan produknya diminati untuk seragam militer di berbagai benua. Segmen pasarnya pun mayoritas di luar negeri.
Sayangnya pandemi Covid-19 pada 2020 membuat bisnis Sritex babak belur. Pada 2021, Sritex mencatatkan rugi bersih sampai Rp1,08 miliar atau Rp16,76 triliun. Padahal dalam sepuluh tahun sebelumnya mencatatkan pertumbuhan laba rata-rata 18,5% per tahun (CAGR).
Artikel Selanjutnya
Video: Australia Pantau Pilpres RI Hingga Donald Trump Ancam NATO
(wur/wur)