Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, bencana alam yang melanda dunia justru menimbulkan ketidakadilan. Hal itu, kata dia, terlihat dari dampak yang ditimbulkan bencana alam bagi negara-negara di dunia.
Dia memaparkan, cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 bencana, yang dilaporkan antara tahun 1970-2021.
Negara maju mengalami lebih dari 60% kerugian ekonomi akibat cuaca, namun sebagian besar di bawah kerugian tersebut nilainya 0,1% Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara, di negara berkembang dan belum maju 7% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% PDB dan mencapai hingga 30%.
Di negara kepulauan kecil 20% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% PDB bahkan ada yang melebihi 100%.
“Poinnya adalah bencana yang terjadi di negara maju itu kurang berpengaruh terhadap PDB-nya dibandingkan di negara berkembang atau belum maju,” katanya dalam keterangan di situs resmi BMKG, Senin (1/4/2024).
“Artinya rentan sekali bagi negara berkembang dan belum maju. Ini yang dinamakan ketidakadilan,” tambah Dwikorita.
Dia menuturkan, saat ini kesenjangan hak atas air diperparah dengan dampak perubahan iklim. Dan, menjadikan air sebagai sesuatu yang seharusnya membuat sejahtera, justru dapat menjadi bencana seperti kekeringan dan banjir.
“Mengutip laporan World Meteorological Organization (MWO) krisis air di dunia nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat. Saat ini pola debit sungai dan aliran masuk waduk sebagian besar lebih kering daripada kondisi normalnya,” sebutnya.
“Juga terjadi peningkatan evapotranspirasi dan penurunan kelembapan tanah selama musim panas yang disebabkan oleh kekeringan,” jelas Dwikorita.
Untuk itu, dia mengatakan, 10th World Water Forum (WWF) akan jadi ajang untuk berdialog mengatasi kesenjangan terhadap hak atas air di dunia. WWF ke-10 akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia pada 18-24 Mei 2024 mendatang.
Demi mencegah air menjadi sesuatu yang merugikan maka isu air akan dibahas oleh delegasi dari 172 negara dunia dalam pertemuan internasional terbesar di bidang air. Tujuanya adalah mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan penggunaan air secara setara di seluruh negara dunia.
“Dinamika siklus air dan interaksinya dengan masyarakat manusia dapat mengakibatkan dua hal. Pertama, bervariasinya pola spatio-temporal ketersediaan sumber daya air. Kedua, dampak kejadian ekstrem yang berhubungan dengan sumber daya air dapat mempengaruhi kehidupan, pembangunan, dan keberlanjutan ekosistem, masyarakat, dan individu,” paparnya.
“Perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air sehingga menimbulkan water hotspot,” ujar Dwikorita.
Dia pun mengutip Food and Agriculture Organization (FAO) yang memproyeksikan, pada tahun 2050, krisis air yang dipicu perubahan iklim akan meningkatkan kerentanan pada kawasan penyedia pangan (food basket).
“Akibatnya, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang menghasilkan 80% sumber pangan dunia menjadi kelompok yang paling rentan,” katanya.
“Karena itu, diperlukan mitigasi dan adaptasi secara sistematis terhadap isu-isu terkait air melalui observasi, monitoring, dan pengumpulan data. Data-data tersebut kelak akan dijadikan baseline bagi stakeholder untuk merumuskan kebijakan terkait air. Dan dapat dijadikan acuan dalam melakukan mitigasi sebelum bencana akan datang,” tambah Dwikorita.
Dwikorita mengajak semua stakeholder dalam ajang WWF ke-10 nanti berkolaborasi bersama membangun kolaborasi multi-helix, lintas sektor dan lintas batas. Untuk membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana.
“Salah satu platform untuk menghimpun sinergi adalah melalui forum dialog internasional dan ini akan kita bangun bersama di Bali dalam World Water Forum ke-10. Tema besarnya adalah Water for Shared Prosperity,” katanya.
Dwikorita meminta keterlibatan pimpinan negara, parlemen, menteri, pemimpin daerah, dan otoritas pengelola air di cekungan-cekungan (basin authorities) untuk menentukan arah demi menyelesaikan masalah yang terjadi berdasarkan data dan kasus di lapangan.
“Kekuatan politik ini diharapkan dapat mengikat seluruh pihak untuk kerja kolektif menyelesaikan masalah air di dunia,” cetusnya.
“Dan diharapkan ada opsi lanjutan, yaitu deklarasi para menteri untuk mewujudkan kesejahteraan air untuk bersama serta ditargetkan adanya centre of excellence on water and climate resilience,” pungkas Dwikorita.
Artikel Selanjutnya
BMKG Warning Bahaya Cuaca Ekstrem, Hujan Deras & Rob
(dce/dce)