Jakarta, CNBC Indonesia – Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kembali berlanjut di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (2/4/2024). Agenda kemarin adalah pemeriksaan ahli dan saksi yang diajukan pemohon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) oleh MK.

Tim Hukum Nasional AMIN membawa 19 orang yang terdiri dari 11 saksi dan 7 ahli. Sejumlah nama dihadirkan sebagai saksi oleh THN AMIN antara lain Bambang Eka Cahya (Ahli Ilmu Pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Prof Ridwan (Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta) hingga Faisal Basri (ekonom senior INDEF).

Bambang dan Ridwan dihadirkan untuk membuktikan dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Menurut Bambang, KPU dianggap melanggar prosedur karena menerima pendaftaran Gibran tanpa memperhatikan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini, yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden, seharusnya menjadi landasan bagi KPU untuk mengubah Peraturan KPU (PKPU) terkait.

Bambang menjelaskan bahwa KPU seharusnya mengubah PKPU setelah pembacaan putusan MK tersebut. Dia merujuk pada Pasal 75 Ayat 4 UU Pemilu yang menuntut KPU untuk membuat PKPU berkaitan dengan tahapan pemilu, yang harus dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah.

Bambang juga menyoroti Pasal 231 Ayat 4 UU Pemilu yang mengatur proses verifikasi dokumen persyaratan administratif calon dalam PKPU. Dia menegaskan bahwa KPU baru mengubah PKPU setelah proses pendaftaran Gibran selesai, sehingga penerimaannya tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Ridwan menambahkan bahwa putusan MK memiliki sifat vonis yang mengikat. KPU harus membuat peraturan baru yang merujuk pada putusan MK terkait batas usia calon presiden, karena putusan tersebut mengubah regeling yang berlaku.

Selain itu, dalam sidang yang sama, Ridwan turut memberikan pandangannya tentang sifat putusan MK terkait dengan syarat batas usia calon presiden (capres). Ridwan menjelaskan bahwa putusan MK terkait gugatan memiliki sifat vonis yang mengikat.

Dia menekankan bahwa putusan MK bersifat erga omnes, yang berarti berlaku untuk semua pihak yang terkait. Meskipun begitu, putusan tersebut ditujukan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu, bukan untuk mengubah peraturan pemilu secara langsung.

Menurut Ridwan, putusan MK perlu dijalankan melalui pembuatan peraturan KPU yang merujuk padanya. Dia menjelaskan bahwa pelaksanaan administrasi dan tata cara pencalonan calon presiden dan wakil presiden harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau yang disebut sebagai regeling. Dalam konteks ini, KPU memiliki kewenangan untuk membuat regeling tersebut.

Dengan demikian, Ridwan menegaskan bahwa KPU harus mengubah peraturannya sesuai dengan putusan MK karena sifatnya yang mengikat. Hal ini memperkuat argumen tim AMIN terkait dugaan pelanggaran prosedur oleh KPU dalam menerima pendaftaran Gibran sebagai calon Wakil Presiden.

Tudingan Faisal Basri
Faisal Basri menuding sejumlah menteri dalam Kabinet Indonesia Maju memakai politik gentong babi (pork barrel politics) demi memenangkan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. Dalam kesempatan itu, Faisal menyampaikan paparan bertajuk “Bansos Menjelang Pemilu 2024 Sangat Ugal-Ugalan untuk Memenangkan Prabowo-Gibran”.

Mengawali paparannya, Faisal menjelaskan politik gentong babi atau pork barrel politics. Teori ini, menurut dia, berkembang di Amerika Serikat (AS), walau dalam konteks di Indonesia, ada perbedaan.

“Kalau di sana umumnya dilakukan oleh anggota DPR baik Senat maupun Kongres yang ingin terpilih kembali, mereka memasukkan proyek-proyek yang menggelontorkan uang banyak di daerah konstituennya, di distrik mereka itu, agar terpilih kembali. Sedemikian makin parahnya keadaan itu membuat sampai ada NGO yang khusus memelototi pork barrel ini karena memang membiaskan demokrasi,” ujar Faisal.

Menurut dia, masyarakat AS tidak bisa diiming-imingi oleh sembako. Oleh karena itu, pork barrel politics yang dilakukan menggunakan proyek-proyek besar mulai dari pembangunan jembatan, jalan tol, dan lain sebagainya.

“Nah jadi secara umum bisa dikatakan pork barrel ini di negara-negara berkembang wujudnya berbeda karena pendapatannya masih rendah, angka kemiskinannya tinggi di Indonesia. Penduduk miskin ekstrem, nyaris miskin, rentan miskin, itu kira-kira hampir separuh dari penduduk. Jadi santapan yang memang ada di depan mata para politisi karena mereka lebih sensitif terhadap pembagian-pembagian sejenis bansos utamanya bansos yang ad hoc sifatnya,” papar Faisal.

Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini menilai, pemerintah dalam hal ini KPK dan Kementerian Dalam Negeri sudah membuat aturan agar tidak boleh ada bansos dua-tiga bulan jelang pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, tidak ada pembatasan bansos saat pemilu.

“Jadi kan ini membuktikan bansos itu secara kuantitatif maupun secara kualitatif,” ujar Faisal.

Lebih lanjut, dia bilang kalau di Indonesia ada mobilisasi pejabat sampai ke level bawah. Faisal mencontohkan tindakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ketika membagikan bansos beberapa waktu lalu.

“Ini yang saya tunjukkan misalnya Airlangga Hartarto yang mengatakan ini sumbangan Pak Jokowi oleh karena itu harus berterima kasih kepada Pak Jokowi dengan cara memilih yang didukung Pak Jokowi,” kata Faisal.

Ia pun mencontohkan pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang bilang agar Menteri Sosial Tri Rismaharini merilis bansos sendiri.
“Dipikir semua menteri mentalitasnya, moralitasnya, seperti dia. Bu Risma tidak. Tidak mau mempolitisasi bansos. Sudah uangnya ada, tapi kurang magnetnya, harus ditunjukkan ini lho yang ngasih secara demonstratif. Maka Airlangga dan banyak menteri lagilah. Tapi yang paling vulgar adalah Airlangga Hartarto, Bahlil, dan Zulkifli Hasan,” ujar Faisal.

Lebih lanjut, pendiri Partai Amanat Nasional itu menyoroti perpanjangan durasi bantuan sosial El Nino atas permintaan Airlangga. Airlangga mengeklaim perpanjangan itu atas masukan yang disampaikan para pihak lewat dialog.

“Penerima El Nino mau nggak diteruskan? Ya hampir dipastikan semua orang yang ditanya yang sudah terima ya akan terus. Sedemikian vulgar argumen-argumen yang disampaikan sebagai justifikasi. Agar orang-orang yang terakhir menerima dana, menerima bansos itu sebelum bilik suara itu yang paling diingat,” kata Faisal.

“Jadi ini politik seperti ini membahayakan masa depan Indonesia karena tahun pertama sampai tahun keempat entertainment aja sama oligarki. Oligarki tidak menyelesaikan kemiskinan, nanti diselesaikan untuk pemilu yang akan datang. Mengerikan yang mulia, mengerikan bagi pilkada maupun demokrasi. Masa depan kita dan anak cucu kita akan menghadapi kesuraman akhrnya potensi menjadi sangat membahayakan eksistensi bangsa ini,” lanjutnya.

Faisal juga mempertanyakan perpanjangan bansos El Nino yang diperpajang. Padahal, El Nino sudah mereda.

“Kenapa sih minta diperpanjang? Karena ingin diciptakan panggung-panggung baru itu. Nggak cukup digelontorkan lewat mekanisme yang ada, tapi harus ditunjukkan nih yang ngasih pakai seragam tertentu, pesan tertentu. Jadi panggung-panggung yang diciptakan untuk memastikan efektivitas bansos ini semaksimal mungkin,” ujar Faisal.



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *