Jakarta, CNBC Indonesia – Pertumbuhan industri manufaktur RI tercatat tengah melesat di bulan Maret 2023. Hal itu terlihat dari data Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global.
Data itu menunjukkan, indeks PMI Manufaktur RI bulan Maret 2024 naik 1,5 pon ke level 54,2 dibandingkan posisi bulan Februari yang tercatat di 52,7. Ini artinya, industri manufaktur RI dalam fase ekspansi (indeks di atas 50).
Bahkan, menurut catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), kinerja PMI Manufaktur Indonesia pada Maret 2024 lebih baik dibandingkan PMI Manufaktur negara-
negara peers yang masih berada di fase kontraksi. Seperti Malaysia (48,4), Thailand (49,1), Vietnam (49,9), Jepang (48,2), Korea Selatan (49,3), Jerman (41,6), Prancis (45,8), dan Inggris (49,9).
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, dengan capaian bulan Maret tersebut, sektor manufaktur RI melanjutkan fase ekspansi selama 31 bulan berturut-turut. Dan, level saat ini adalah tertinggi selama hampir 2,5 tahun (29 bulan).
Jika mengulik catatan Kemenperin, indeks PMI Manufaktur RI tertinggi sejak 2,5 tahun terakhir terjadi pada bulan Oktober 2021, mencapai 57,2.
“Ini sejalan juga dengan capaian Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan Maret yang sama-sama berada pada fase ekspansi, dengan level 53,05,” kata Agus dalam keterangan resmi, Senin (1/4/2024).
Untuk mendukung performa industri manufaktur RI, tambahnya, dibutuhkan kebijakan yang mendukung dan strategis. Salah satunya, kata dia, pemberlakuan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk semua sektor industri.
“Apabila semua sektor industri bisa mendapat harga gas yang kompetitif, tentu akan memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional serta mendongkrak daya saing produk industri kita,” ujarnya.
“Kami juga optimistis PMI Manufaktur Indonesia bisa lebih tinggi lagi jika program HGBT berjalan dengan baik dan diakses semua industri,” kata Agus.
Dia memaparkan, kebijakan HGBT sangat dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha. Pada tahun 2023, kenaikan pajak dari industri pengguna HGBT mencapai 32% dibanding
tahun 2019. Selain itu, sampai dengan tahun 2023, tercatat telah terealisasi investasi sebesar Rp41 triliun atau naik sebesar 34% dibanding tahun 2019.
Tak hanya itu, kata dia, ada potensi investasi di sektor petrokimia, baja, keramik, dan kaca sebesar Rp225 triliun.
“Dampak positif lainnya selama tahun 2020 hingga 2023 ada peningkatan ekspor sebesar Rp84,98 triliun, peningkatan penerimaan pajak Rp27,81 triliun, peningkatan investasi Rp31,06 triliun, dan penurunan subsidi pupuk mencapai Rp13,3 triliun,” paparnya.
“Yang harus menjadi pertimbangan adalah bahwa HGBT telah mampu meningkatkan pendapatan APBN. Setiap pengeluaran sebesar Rp1, mampu memberikan pendapatan pengganti bagi negara sebesar Rp3,” sebut Agus.
Saat ini, ungkapnya, sekitar 140 perusahaan yang telah direkomendasikan oleh Kemenperin, belum ditetapkan untuk mendapatkan HGBT. Sebanyak 33 perusahaan di antaranya
termasuk dalam tujuh sektor penerima sesuai Perpres 121/2020 jo. Perpres 40/2016, sedangkan sisanya (107 perusahaan) berasal dari 15 sektor baru yang diusulkan Kemenperin.
“Sektor industri, khususnya pengguna gas baik sebagai bahan baku maupun energi membutuhkan pasokan yang cukup dan harga yang kompetitif dalam jangka panjang,” katanya.
“Untuk itu, Kemenperin memandang pentingnya pengaturan yang lebih komprehensif dalam rangka memberikan ruang bagi dunia industri agar dapat mengoptimalkan produksinya,” pungkas Agus.
Sebagai catatan, dengan kebijakan HGBT ini, industri penerima bisa menikmati harga gas hanya US$6 per MMBTU.
Artikel Selanjutnya
Golkar Sudah Usulkan Menteri ke Prabowo? Agus Gumiwang Komentar Begini
(dce/dce)