Jakarta, CNBC Indonesia – Industri manufaktur di dalam negeri tengah mengalami geliat pertumbuhan. Terlihat dari peningkatan permintaan baru yang menunjukkan aktivitas produksi yang semakin terpacu.
Hal itu terkonfirmasi dari data Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global. Untuk bulan Maret 2024, PMI Manufaktur Indonesia berada di level 54,2 atau naik 1,5 poin dibanding kinerja bulan Februari yang menyentuh angka 52,7.
Ini adalah posisi tertinggi sejak Oktober 2021 atau dalam 29 bulan terakhir.
Kondisi ini, juga mengonfirmasi sektor manufaktur RI tidak sedang mengalami deindustrialisasi. Hal itu disampaikan Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB) Universitas Indonesia Kiki Verico dalam keterangan resmi, Senin (1/4/2024).
“Indonesia saat ini tidak bisa disebut deindustrialisasi. Deindustrialisasi itu dialami oleh negara yang sudah mencapai tahap advanced manufacturing atau maju manufakturnya lalu menurun (sunset) dan mulai digantikan negara lain yang manufakturnya baru take-off (sunrise). Negara industri maju itu lalu bergeser backbone ekonominya dari industri manufaktur ke sektor jasa,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah mengutamakan kerja sama antar kementerian/ lembaga demi menjaga kinerja dan pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri.
Dia pun mengungkapkan sederet faktor yang berpengaruh dalam mendorong industri manufaktur RI tetap bergairah.
Ada 4 faktor yang harus jadi perhatian pemerintah, yaitu:
Pertama, kualitas institusi dan lingkungan. Kualitas institusi biasanya diukur dari iklim investasi atau indeks kemudahan berusaha.
Kedua, faktor lingkungan dan sosial.
“Faktor sosial dilihat dari keberpihakan pemerintah terhadap rakyat, serta bagaimana pemerintah mengatasi ketimpangan kemiskinan. Itu yang dilihat,” kata Kiki dalam keterangan resmi, dikutip Senin (1/4/2024).
Ketiga, ujarnya, adalah faktor yang paling penting yaitu, jumlah penduduk muda dan produktivitas. Apalagi Indonesia bakal menghadapi era bonus demografi di mana berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, dari 275,36 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2022, sebanyak 190,83 juta jiwa atau 69,3% masuk kategori produktif.
“Produktivitas itu parameter ukurannya salah satunya dilihat dari cara menghasilkan barang yang rumit atau complexity index. Sayangnya, complexity index Indonesia masih jauh di bawah Malaysia, Thailand dan Vietnam. Artinya, kalau penduduknya banyak tapi tidak produktif ya repot,” jelasnya.
Keempat, faktor infrastruktur yang mampu menurunkan harga logistik. “Kalau infrastruktur tidak bagus, logistik mahal, investor juga tidak mau investasi manufaktur di Indonesia,” ujarnya.
Dia menambahkan, kebijakan antarkementerian juga diperlukan untuk menopang kinerja sektor manufaktur RI. Langkah yang telah dijalankan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) perlu mendapat dukungan kementerian lain untuk memperkuat sektor industri manufaktur.
Sebab, kata Kiki, ke depan industri manufaktur bisa meningkatkan ekspor Indonesia dan memberikan sumbangan lebih besar bagi perekonomian nasional.
“Bagaimana kita menarik investasi masuk kemudian meningkatkan ekspor. Nah, di sini peran Kemenperin (Kementerian Perindustrian) bersama Kementerian Perdagangan (Kemedag), dan Kementerian Investasi (BKPM) harus harmonis, termasuk kebijakannya. Jangan sampai kebijakan di perindustrian itu mendukung industri, sedangkan perdagangan dan investasinya tidak, kan jadi repot,” tukasnya.
Artikel Selanjutnya
Data Terbaru Lampu Kuning Ekonomi China, Manufaktur Babak Belur
(dce)