Jakarta, CNBC Indonesia – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional ternyata sudah “menelan korban” setidaknya 1 juta orang. Angka itu adalah akumulasi PHK sejak kuartal akhir tahun 2022 lalu.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, gelombang PHK di industri TPT nasional terjadi karena rentetan tekanan yang menyebabkan utilisasi pabrik terus anjlok.
Mulai dari pelemahan ekspor karena perlambatan bahkan resesi ekonomi di negara-negara tujuan ekspor utama TPT Indonesia. Menyebabkan produk tak terjual hingga menyebabkan pabrik mengurangi kapasitas lalu memangkas jam kerja hingga akhirnya PHK terjadi.
Di saat bersamaan, serbuan barang impor terus menghantam pasar domestik. Apalagi, pelemahan ekspor juga dialami oleh negara-negara lain, sehingga harus mencari pasar besar agar produksinya terserap. Akibatnya, negara-negara tersebut juga mengincar pasar Indonesia.
Belum lagi, impor ilegal yang juga semakin menggerus pasar pabrikan lokal. Akibatnya, kata Redma, meski permintaan stabil tumbuh, namun tak dinikmati oleh industri TPT yang berorientasi pasar domestik.
“Sejak kuartal keempat tahun 2022, PHK di industri tekstil itu ada mencapai 1 juta sebenarnya. Itu kalau kita hitung dari utilisasi pabrik,” katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (2/4/2024).
“Waktu utilisasi kita 80%, tenaga kerja langsung itu ada 3,7 juta orang. Ini di industri TPT ya. Ketika kemarin turun ke 45%, sebenarnya tenaga kerja itu berkurangnya ada 1 juta orang. Ini sejak tahun 2022. Kan nggak mungkin utilisasi turun dari 80% ke 45%, jumlah tenaga kerjanya tetap,” tambahnya.
Lalu apakah PHK akan terus berlanjut tahun ini?
Redma mengakui, tren PHK masih berlanjut.
Namun, dia optimistis, gelombang PHK akan bisa berhenti setelah Lebaran 2024 nanti.
“Sepertinya PHK akan mulai berhenti pasca-Lebaran,” kata Redma.
Hal itu disampaikan menyusul mulai munculnya tren positif di industri manufaktur nasional. Yang juga dialami sektor TPT nasional, meski masih di industri hilir dan sebagian.
Tren positif yang dimaksud Redma adalah terkait data Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global. Yang menunjukkan, industri manufaktur RI dalam fase ekspansi.
Tercatat, indeks PMI Manufaktur Indonesia berada di level 54,2 atau naik 1,5 poin dibanding kinerja bulan Februari yang menyentuh angka 52,7. PMI Manufaktur RI bulan Maret 2024 ini tertinggi sejak Oktober 2021 yang mencapai mencapai 57,2.
Bahkan, menurut catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), kinerja PMI Manufaktur Indonesia pada Maret 2024 lebih baik dibandingkan PMI Manufaktur negara-
negara peers yang masih berada di fase kontraksi. Seperti Malaysia (48,4), Thailand (49,1), Vietnam (49,9), Jepang (48,2), Korea Selatan (49,3), Jerman (41,6), Prancis (45,8), dan Inggris (49,9).
Dan, di saat bersamaan, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan Maret juga berada di fase ekspansi, dengan level 53,05.
“Untuk TPT, (PMI manufaktur ekspansif) terasa di hilir, tapi baru sebagian. Trennya memang sedang positif,” ujar Redma.
Tapi ada syaratnya….
Redma mengatakan, semakin berkurangnya PHK hanya bisa terjadi jika kondisi juga semakin menguntungkan industri TPT.
Dalam hal ini, kata dia, kontrol serbuan barang-barang impor yang mengganggu kinerja industri TPT nasional adalah kunci.
“Permendag No 3/2024 (tentang Perubahan atas Permendag No 36/2023 tentang Kebijakan Pengaturan Impor) dan Permenperin No 5/2024 (Peraturan Menteri Perindustrian tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Tekstil, Produk Tekstil, Tas, dan Alas Kaki) berlaku sesuai aturan,” tukas Redma.
“Sejak diberlakukannya peraturan tersebut, kinerja sektor TPT mulai ke arah positif dan seluruh stakeholder industri TPT nasional menghendaki agar aturan ini tetap berjalan tanpa perubahan dan penundaan,” tambahnya.
Tak hanya itu, tukasnya, pemerintah juga harus tegas mengontrol dan mengatasi serbuan impor ilegal.
“Kontrol impor termasuk impor ilegal,” cetusnya.
Dia pun meminta semua pihak mendukung produk dalam negeri. Secara khusus, dia menyinggung protes yang dilontarkan Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO). Yang keberatan dengan pemberlakuan aturan tersebut.
“Perintah Presiden Oktober tahun lalu kan sangat jelas agar impor lebih dikendalikan karena sudah pada level yang membuat PHK di mana-mana. Melalui Permendag ini pemerintah atur agar impor-impor itu disubstitusi oleh barang lokal,” ucapnya.
“Anggota APRIGINDO juga kan sudah kantongi PI (Persetujuan Impor) sampai akhir tahun 2024, untuk impor 2025 masih punya waktu 9 bulan, kan tinggal diurus saja. Merek-merek lokal juga banyak yang bagus dan berkelas, kalau tidak diberi kesempatan masuk mal mereka sulit berkembang dan kita akan terus bergantung pada produk impor,” pungkas Redma.
Artikel Selanjutnya
Pabrik Tekstil RI Tumbang Lagi, Lebih 5.000 Orang Korban PHK
(dce/dce)