Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonom senior yang juga merupakan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu mengungkapkan risiko terberat yang akan dihadapi Indonesia dari dampak serangan Iran ke Israel pada Sabtu lalu.
Mari mengatakan, risiko terberat dari memanasnya tensi konflik di Timur Tengah itu ialah naiknya harga minyak mentah dunia hingga ke level US$ 100/barrel, menyebabkan beban subsidi energi di dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) naik.
“Dampaknya ke kita kalau kita melihat harga minyak tentu bisa sebabkan inflasi, apalagi kalau naik terus banyak yang perkirakan bisa capai US$ 100 dolar berarti pertama inflasi,” kata Mari dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Selasa (16/4/2024).
“Kedua dengan harga minyak naik berarti subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah dari APBN bisa juga terpengaruh,” tegas Mari.
Sebagai informasi serangan balik yang dilakukan Iran kepada Israel pada Sabtu (13/4/2024) mendorong harga minyak mentah jenis Brent berjangka diperdagangkan di atas US$90 setelah ditutup 1,1% lebih tinggi pada Rabu (10/4/2024), sementara harga West Texas Intermediate (WTI) mendekati US$86.
Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) juga berpotensi naik, berdasarkan perkiraan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM ke level US$ 100/barel. Melampaui asumsi harga ICP yang telah ditetapkan dalam APBN 2024 sebesar US$ 82/barel.
“Jadi pengeluaran pemerintah akan berpengaruh. Kalau saya tidak salah mendengar penjelasan dari Dirjen Migas (Tutuka Ariadji) kalau harga ICP US$ 100/barel kompensasi BBM di APBN naik ke Rp 250 triliun dibanding asumsi APBN saat ini Rp 160,91 triliun, berarti ada delta Rp 90 triliun tambahan yang harus jadi tambahan pengeluaran pemerintah,” tutur Mari.
Kenaikan subsidi dan kompensasi BBM itu menurutnya juga akan mempengaruhi biaya belanja lain untuk subsidi LPG dan listrik, sehingga akan menekan defisit semakin melebar di atas target pada tahun ini sebesar 2,29% dari PDB atau secara nominal sebesar Rp 522,8 triliun.
“Jadi dampaknya ke defisit. Di luar itu ketidakpastian ini akan dan telah menyebabkan flight to safety, capital outflow terjadi karena investor mencari aset yang aman yaitu dolar dan obligasi AS, dengan demikian rupiah yang menunjukkan tanda-tanda melemah akan melemah lebih lanjut lagi, dan dengan sendirinya pengaruhi harga impor minyak,” ungkap Mari.
Artikel Selanjutnya
Serangan Israel Tewaskan Petinggi Iran, Awas Perang Besar!
(arm/mij)