Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melanjutkan penurunan dan bergerak di kisaran Rp 16.200 per dolar AS. Pelemahan rupiah dipicu oleh sentimen global dan diperparah oleh meningkatnya kebutuhan dolar setelah libur panjang Lebaran.
Sayangnya, pelemahan ini tidak mampu dikompensasi oleh surplus neraca perdagangan Indonesia yang bertahan 46 bulan berturut-turut senilai total US$ 152,02 miliar. Surplus ini buktinya tidak cukup menopang ketersediaan pasokan dolar di dalam negeri.
Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia mengungkapkan bila devisa hasil ekspor atau DHE mampu optimal masuk ke Indonesia dan tidak terparkir di instrumen keuangan luar negeri, surplus neraca perdagangan yang terjaga itu sedikit banyak mampu menopang pasokan dolar di Tanah Air, sehingga rupiah tak harus terkapar hingga seperti saat ini.
“Ini makanya perlu optimalisasi untuk DHE ini karena masih ada saja perusahaan yang belum. Itu makanya kan ada beberapa perusahaan yang kena sanksi enggak boleh ekspor karena mereka belum patuh,” kata Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia, Rabu (17/4/2024).
“Kalau masuk semua sebenarnya oke tapi sebenarnya saya lihat belum efektif, belum semua DHE kita masuk,” tegasnya.
Adapun, ketentuan terkait DHE itu sebelumnya telah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 dengan mewajibkan para eksportir memarkirkan dolar hasil ekspornya di sistem keuangan dalam negeri paling sedikit 30% dalam jangka waktu minimal 3 bulan.
Melalui aturan itu, pemerintah telah memetakan potensi besar devisa dari nilai DHE SDA mencapai US$ 203 miliar. Nilai tersebut setara dengan 69,5% dari total ekspor Indonesia. Lalu, ketika 30% nya minimal diparkir di dalam negeri, maka ada potensi DHE yang masuk ke Indonesia US$ 60,9 miliar dengan rentang dolar yang masuk sekitar US$ 60 miliar sampai dengan US$ 100 miliar.
Pada Maret lalu, Bank Indonesia (BI) mengklaim penyimpanan dolar milik ekspor di perbankan Tanah Air tetap stabil. Kondisi ini terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah perusahaan yang menyetorkan devisanya.
Deputi Gubernur BI Destry Damayanti mengatakan kemudian kalau dilihat total eksportir meningkat menjadi 160 perusahaan dari sebelumnya 158 perusahaan.
“Jadi ada kenaikan sedikit dengan jumlah bank peserta 16 bank,” katanya dalam paparan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (20/3/2024).
Kemudian, Term Deposit Valas untuk penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) relatif stabil di posisi US$ 1,95 miliar per 20 Maret 2024. Adapun, Destry mengungkapkan kondisi yang menarik terjadi pada penempatan sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI). Posisi per 21 Maret 2024, mencapai US$ 2,7 miliar.
“Jadi ini yang membantu salah satunya di Cadev kita cukup solid di Maret,” ungkapnya. Data BI mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari 2024 tetap tinggi sebesar US$ 144,0 miliar, meskipun turun tipis dari bulan sebelumnya.
Mantan menteri keuangan Bambang Brodjonegoro pun mewanti-wanti kepada pemerintahan pengganti Presiden Jokowi untuk berfokus membenahi neraca perdagangan RI. Dia mengatakan membenahi neraca perdagangan menjadi pekerjaan rumah yang tidak boleh terlewat agar perekonomian Indonesia lebih tahan banting terhadap gejolak global.
“Ini memang sangat relevan untuk pemerintahan yang akan datang, salah satu pekerjaan rumah yang ingin kita kerjakan tetapi selalu terlewat karena memang dimensinya tidak jangka pendek adalah memperbaiki neraca perdagangan tersebut,” kata dia.
Dia mengatakan surplus neraca perdagangan Indonesia ke depannya tidak bisa hanya bergantung pada komoditas. Dia mengatakan ketergantungan pada harga komoditas membuat keseimbangan eksternal RI menjadi rapuh.
“Untuk memperbaiki keseimbangan eksternal terutama bagaimana caranya agar surplus neraca perdagangan kita itu tidak hanya bergantung pada harga komoditas, buktinya di surplus perdagangan kita yang terakhir itu di bawah US$ 1 miliar, padahal dalam waktu 3 tahun 4 tahun jauh di atas itu,” kata dia.
Selain itu, Bambang mengatakan ada pekerjaan rumah kedua bagi pemerintah Indonesia, yakni memperbaiki defisit yang cukup akut pada neraca perdagangan di sektor jasa. Dia mengatakan defisit tersebut terjadi pada sektor jasa perkapalan maupun jasa keuangan. Dia mengatakan defisit itu perlu dibenahi agar perekonomian Indonesia dapat lebih tangguh menghadapi ketidakpastian global.
“Ini satu hal yang barangkali tidak banyak dibicarakan, tetapi itu yang membuat setiap kali ada suatu istilahnya disrupsi eksternal, baik itu berasal dari Bank Sentral Amerika atau tensi seperti sekarang itu yang membuat kita selalu khawatir akan terjadi outflow, rupiah akan tertekan dan kemudian kita juga khawatir cadangan devisa terkuras,” katanya.
Artikel Selanjutnya
BI Bilang Jumlah Eksportir Tambah, Tapi Setoran Dolar Seret
(haa/haa)