Jakarta, CNBC Indonesia – Konflik antara Iran dengan Israel yang memanas memicu kecemasan baru, termasuk di Indonesia. Bahkan, pemerintah dalam beberapa hari terakhir terpantau langsung melakukan rapat koordinasi untuk mengukur dan menyiapkan langkah antisipasi jika tensi antara kedua negara itu memanas.
Pengusaha nasional pun telah menyampaikan kekhawatiran jika konflik berlanjut. Karena akan memicu efek domino yang berdampak ke ekonomi Indonesia. Mulai dari melambungnya harga minyak mentah dunia, ambruknya rupiah, hingga gangguan rantai pasok. Bukan tak mungkin, PHK massal akan menghantam Indonesia.
Seperti diketahui, Israel dikabarkan telah meluncurkan rudal sebagai serangan balasan terhadap Iran pada Jumat (19/4/2024) dini hari. Hal itu diungkap pejabat senior AS kepada ABC News. Meski, pihak Israel enggan merespons berita tersebut.
Peluncuran rudal tersebut menyusul serangan Iran pada Sabtu lalu, yang mengirimkan lebih dari 300 drone dan rudal tanpa awak ke sasaran ke Israel.
Gambaran Konflik Memanas – Perang
“Serangan Iran ke Israel beberapa hari lalu merupakan serangan terbatas, untuk membalas serangan Israel ke Kedutaan Besar Iran di Damaskus, Syria yang menewaskan 6 orang dan 2 jenderal Iran. Tapi Israel membalas serangan Iran langsung ke beberapa kota di Iran. Tanpa dukungan AS dan Inggris, sulit bagi Israel menyerang Iran dan konsekuensi atas serangan balik Iran,” kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno kepada CNBC Indonesia, Jumat (19/4/2024).
“Jika terjadi eskalasi, kemungkinan perang akan melebar. Israel sejak lama berniat menghancurkan proyek nuklir Iran. Awalnya ilmuwan nuklir Iran dibunuh. Israel dan AS tidak menghendaki Iran memiliki senjata nuklir kedua, setelah Israel,” tambahnya.
Apalagi, ujarnya, belum lama ini AS mencairkan dana Iran yang dibekukan AS. Syaratnya agar Iran tidak melanjutkan pengayaan uranium untuk bahan bakar nuklir. Hanya saja, Israel tetap pada tujuan semula, yaitu menghancurkan instalasi nuklir Iran.
“Jika terjadi eskalasi perang kedua negara, Iran akan melakukan serangan balik ke Israel dan mengarah penghancuran pusat nuklir Israel di Demona. Sementara, Iran yang selama ini membantu Rusia di perang Ukraina dengan memasok drone Shahed telah menyempurnakan teknologinya berkat bantuan Rusia. Israel yang memiliki keunggulan jet tempur dari AS, untuk sementara akan berada di atas angin. Kalau Rusia memasok Iran dengan pesawat tempur SU 35, akan terjadi duel udara antara Israel dan Iran,” papar Benny.
Di sisi lain, Benny yakin, negara-negara Arab seperti Mesir dan Saudi Arabia tidak akan ikut campur perang tersebut. Karena kedua negara sudah terikat perjanjian damai dengan Israel dan kerja sama di bidang ekonomi dan teknologi. Yordania juga tidak akan melibatkan perang tersebut, bahkan membantu Israel untuk menembak jatuh drone Iran yang melintas di negaranya.
Petaka Baru Jika Perang Pecah
Perang Israel-Iran, lanjutnya, akan memicu masalah ketika memicu terjadinya penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Akibatnya, pasokan minyak dari Timur Tengah akan terganggu dan terhenti.
“Dampaknya, harga minyak akan meroket. Bisa mencapai US$100 per barel dan mendorong tingkat inflasi di seluruh dunia,” katanya.
Di saat bersamaan, menurut Benny, the Fed, akan menunda kenaikan suku bunga acuannya untuk menahan tingkat inflasi. Seperti diketahui, kebijakan bank sentral AS itu juga akan berdampak ke Indonesia.
Kurs rupiah yang telah menembus level Rp16.000 per dolar AS, jelas Benny, bukan tak mungkin akan terus melemah hingga ke Rp17.000 per dolar AS.
“Bank Indonesia menghadapi dilema untuk menjaga agar nilai tukar rupiah stabil, melalui dua kebijakan. Yaitu menaikkan suku bunga acuan agar nilai tukar rupiah tetap stabil. Konsekekuensinya, suku bunga di bank komersial juga akan naik. Kredit akan lebih mahal. Peredaran uang akan semakin berkurang, daya beli masyarakat yang rendah akan semakin melemah,” tukasnya.
“Akibatnya, perusahaan akan sulit menjual produknya, selanjutnya gelombang PHK bertambah jumlah pengangguran meningkat,” sebut Benny.
Atau, Bank Indonesia akan melakukan intervensi dengan menjual dolar agar nilai tukar rupiah stabil. Risikonya adalah cadangan devisa akan terkuras. Batas amannya adalah untuk enam bulan import.
“Apapun pilihan yang diambil Bank Indonesia akan berdampak pada perekonomian nasional, sampai tingkat inflasi, daya beli, lapangan kerja dan seterusnya,” pungkas Benny.
Artikel Selanjutnya
Israel Mulai Serang Iran, Ini yang Jadi Ketakutan Buat RI
(dce/dce)